School Leadership Camp: 28 Kepala Sekolah Asah Keberanian Pimpin Perubahan

Ignaz Kingkin. Melatihkan materi tentang coaching, counselling, dan mentoring. (Foto-foto: Dok. Pribadi)

Rektor Soegijapranata Catholic University (SCU) Ferdinand Hindiarto menutup School Leadership Camp (SLC) dengan penegasan, “Kualitas kepemimpinan diukur dari keberanian melakukan perubahan.”

SLC Batch 4 tahap kedua diselenggarakan di Semarang, 5-6 Oktober 2024, dengan diikuti 28 kepala sekolah serta wakil kepala sekolah dari delapan yayasan Katolik di enam keuskupan. Kegiatan ini merupakan kerja sama Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia, Yayasan Insan Sekolah Kasih, Soegijapranata Catholic University, dan Komisi Pendidikan Kevikepan Semarang.

Ferdinand Hindiarto, Rektor Soegijapranata Catholic University (SCU). Kualitas kepemimpinan diukur dari keberanian melakukan perubahan.

Ubah mindset, bukan dari mindset

Ferdinand mengaku, selama tiga tahun memimpin SCU, ia tidak melakukan perubahan mindset. “Terlalu berat. Saya mulai dari perubahan-perubahan kecil,” ungkapnya.

Perubahan-perubahan kecil itu dimulai dari sesuatu yang tampak, yakni identitas. Dengan melibatkan dosen-dosen muda desain komunikasi visual, ia mengubah logo dan penyebutan nama, dari Universitas Katolik Soegijapranata menjadi Soegijapranata Catholic University.

“Alasannya jelas. Soegijapranata itu tokoh besar. Hanya empat hari setelah wafatnya, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan nasional,” tegasnya berapi-api, menirukan bagaimana ia meyakinkan civitas akademika yang dipimpinnya agar menerima gagasan perubahan ini.

Ia pun mengulas bagaimana antusiasme mahasiswa, terutama dalam menyambut perubahan yang menyegarkan generasi mereka, yakni generasi yang terlahir natural bersama teknologi digital dan terbiasa belajar sambil nongkrong di kafe.

AA Kunto A (berdiri, bertopi). Komunikasi efektif berbasis NLP.

Ferdinand juga mengungkapkan bagaimana resistensi sebagian orang, terutama generasi tua yang nyaman dengan apa yang sudah ada. “Risiko ditolak itu biasa. Tapi, yang penting kita berani,” tukas mantan general manager PSIS yang menyebut memimpin klub sepakbola lebih sulit daripada memimpin perguruan tinggi.

Topik perubahan ini relevan disampaikan Ferdinand karena SLC dirancang untuk kepala sekolah dan calon kepala sekolah. Pelatihan intensif yang setiap angkatannya dilangsungkan dalam tiga tahap ini disusun dengan kurikulum yang komplet tetapi ringkas.

Komplet, karena materi SLC mulai dari kepemimpinan, manajerial, hingga administrasi. Ringkas, karena disampaikan dan dilatihkan hanya dalam tiga tahap selama tiga bulan. Kali ini SLC keempat tahap kedua. Secara khusus, di tahap dua ini materi komunikasi dibawakan oleh Ignaz Kingkin, HJ Sriyanto, dan AA Kunto A dari Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia. Lembaga ini memang secara khusus mendampingi penyelenggara sekolah di berbagai daerah di Indonesia.

Ignaz Kingkin melatihkan materi tentang coaching, counselling, dan mentoring. HJ Sriyanto menyampaikan materi seputar komunikasi sekolah dan kehumasan. Sedangkan AA Kunto A mengenalkan metode berkomunikasi efektif berbasis Neuro-Linguistic Programming (NLP). Modal dasar peserta adalah rumusan visi dan misi sekolah masing-masing yang disiapkan peserta sesuai penugasan bulan lalu.

Materi-materi yang dibawakan dalam SLC memang berangkat dari kebutuhan peserta. Kebanyakan kepala sekolah yang menjabat tidak memahami tugasnya. Bukan karena mereka bodoh atau malas. Selain pintar, kepala sekolah umumnya adalah guru berprestasi dan baik.

HJ Sriyanto. Sampaikan materi seputar komunikasi sekolah dan kehumasan.

Kecakapan kepala sekolah perlu disiapkan dan dilatih

Lalu, karena apa? Terutama karena lembaga yang menugasinya tidak membekali kepala sekolah tersebut dengan kecakapan dan alat kerja yang layak. Kebanyakan lembaga berpandangan bahwa kepala sekolah yang ditunjuknya dengan sendirinya akan mengerti tugas mereka.

Nyatanya tidak. Guru berprestasi sekalipun begitu menjadi kepala sekolah bisa merasa seketika tidak bisa melakukan apa-apa. Umumnya karena tidak tahu arah. Visi dan misi lembaga yang tertulis sebagai dokumen, jika ada, selain kerap tidak cukup terang juga tidak cukup jelas sebagai petunjuk operasional untuk menyusun program kerja. Sudah begitu, umumnya mereka langsung tenggelam dan hanyut dalam arus dalam administrasi, utamanya untuk kepentingan akreditasi.

Lanjutannya, banyak kepala sekolah bekerja sekadarnya. Paling banter, mereka merujuk pada cara kepala sekolah sebelumnya atau mengintip cara kerja kepala sekolah lain. Selain yang dicontoh belum tentu benar, model kerja seperti itu tidak membawa sekolah lebih maju.

Akibatnya, sekolah mengalami paceklik murid baru. Dari tahun ke tahun, pendaftar menurun. Jika pun tidak, sekolah-sekolah Katolik kerap dikeluhkan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Cara mengajarnya kuno, fasilitas pembelajarannya lawas, dan kesejahteraan guru tidak menarik bagi orang muda berkarier di bidang pendidikan.

Suasana pelatihan School Leadership Camp.

Melahirkan kepala sekolah yang berani memimpin perubahan

School Leadership Camp dihadirkan untuk memecahkan kebekuan tersebut dan melahirkan kepala sekolah-kepala sekolah yang tidak saja kompeten tetapi juga tepercaya mengusung gerbong perubahan di lembaga yang dipimpinnya. Karenanya, materi yang diberikan di SCL selain konseptual juga praktis operasional. Konsep yang abstrak-imajinatif diramu sedemikian rupa dengan pengalaman empiris.

Di hadapan bruder, suster, dan awam kepala sekolah yang datang dari Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bogor, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Agung Palembang, Keuskupan Banjarmasin, dan Keuskupan Agung Semarang, Ferdinand mengingatkan, dunia sudah berubah. Kalau pendidikan tidak berubah pasti punah. Lalu, ia bercerita bagaimana sebagai rektor, yang lebih kurang sepadan dengan peran kepala sekolah, memimpin perubahan di lembaganya.

Ada empat langkah yang ia tempuh, yakni mulai dari perubahan fisik, infrastruktur, perilaku, hingga budaya. Ia mulai dari yang kecil dan tampak indrawi. Ia ubah logo dan identitas kampus. Ruang kelas juga diubah, menyesuaikan dengan gaya anak muda masa kini. “Ketika perubahan kecil ini diterima, saya yakin perubahan berikutnya akan diterima juga,” tukas pehobi sepakbola dan badminton yang dosen psikologi ini.

Perubahan berikutnya tak kasatmata. Lewat apa yang disebutnya “cura personalis”, cara dosen mengajar, membimbing, dan menyapa mahasiswa diubah. Ia banyak merekrut dosen muda untuk mempersempit jarak generasi. “Meskipun mahasiswa sudah termasuk manusia dewasa, tapi orang tua tetap kami libatkan. Kami undang mereka di pertemuan orang tua. Saat wisuda pun mahasiswa duduk diapit orang tuanya,” ungkap rektor yang menempatkan mahasiswa secitra dengan Allah, maka, “WhatsApp mahasiswa harus cepat direspons.”

Tahapan-tahapan perubahan itu ditempuhnya sampai terbentuk budaya baru di kampus, yakni apa yang disebutnya “spritualitas perjumpaan”. Pembeda ini penting perguruan tinggi yang dipimpinnya tetap eksis di tengah situasi yang tidak pasti, yakni regulasi pemerintah yang kerap berganti, kompetisi antarlembaga yang kian sengit, dan perubahan perilaku masyarakat yang kian menuntut.

Panitia dan peserta dari enam keuskupan dan delapan yayasan sekolah Katolik.

Peserta akan bertemu kembali di pertemuan tahap terakhir pada bulan November depan. Ada beberapa penugasan untuk mereka kerjakan dan jadi bahan kursus pada pertemuan tersebut.

Source : School Leadership Camp: 28 Kepala Sekolah Asah Keberanian Pimpin Perubahan – UTUSAN

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!